Sabtu, 19 Maret 2016

proses hidup manusia dan filsafat pendidikan



MAKALAH FILSAFAT PENDIDIKAN
PROSES HIDUP MANUSIA DAN FILSAFAT PENDIDIKAN
Dosen Pengampu :
TAUFIQ MUBAYDIN, S.Pd.I., M.Pd
                   
IMG_20160316_211112













Disusun Oleh :
AHMAD ABDUL ROHMAN          ( 15260101872 )
ANDI SARTIKA                               (15260101874)





SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
IBNU KHALDUN
NUNUKAN
2016









BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
                                                                Sebagaimana diketahui bahwa manusia  adalah sebagai kholifah allah di bumi, Sebagai kholifah, manusia mendapat kuasa dan wewenang  untuk melaksanakannya, dengan demekian pendidikan merupakan urusan hidup dan kehidupan manusia dan merupakan tanggung jawab manusia itu sendiri.
                                                                Untuk mendidik dirinya sendiri, pertama-tama manusia harus memahami dirinya sendiri, apa hakikat manusia, bagaimana hakikat hidup dan kehidupannya, apa tujuan hidup dan apa pula tujuan hidupnya.
Manusia pada dasarnya dilahirkan ke dunia sebagai bayi yang tidak dapat berbuat apa-apa tanpa pertolongan orang lain. Namun, manusia sejak lahir telah memiliki potensi dasar (fitrah) yang harus dikembangkan dalam sebuah lingkungan melalui bantuan orang lain. Oleh karena itu, manusia sangat membutuhkan pendidikan guna keberlangsungan dalm menjalani kehidupannya.
Dengan pendidikan manusia akan berkembang menjadi yang lebih dewasa. Karena pendidikan merupakan upaya pendewasaan manusia yaitu untuk membimbing manusia agar lebih bertanggung jawab. Dan dengan pedidikan manusia dapat mengembangkan potensinya dan mampu mengakses ilmu pengetahuan yang tinggi guna meningkatkan kualitas sumber daya insaninya. Dengan demikian manusia mampu memerankan akal budinya secara naluriah untuk meraih sejauh-jauhnya hikmah – kearifan yang lebih tinggi dari sekedar ilmu pengetahuan.
Proses kehidupan manusia tidak lepas dari pemikiran-pemikiran manusia akan suatu hal atau fenomena yang terjadi. Manusia memliki akal sebagai potensi berfikir yang senantiasa bergolak mencari kebenara-kebenaran yang tentunya sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi, sehingga pemikirannya dapat berubah-ubah atu relative tentang suatu hal. Oleh karena itu butuh pendidikan filsafat sebagai pijakan dalam berpikir guna mengarahkan pemikiran yang lebih bijakana. Maka, antara filsafat, manusia dan pendidikan terdapat hubungan yang erat.
 Belum lagi manusia dalam konsep Islam mempunyai tugas dan  tanggung jawab yang sangat berat yaitu  “’Abd Allah “ (hamba Allah) satu sisi dan sekaligus sebagai “Kholifah fil Ardh” (wakil Allah di muka bumi).

1.2 Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengidentifikasi hal-hal yang mnjadi permasalahan, diantaranya:
1.      Bagaimana gambaran tentang manusia dalam filsafat pendidikan Islam?
2.      Bagaimana proses hidup manusia dan filsafat pendidikan?
3.      Apa hubungannya antara filsafat,manusia,dan pendidikan
1.3 Maksud dan Tujuan Penyusunan
Maksud  dari pnyusunan makalah ini adalah agar  kami mendapatkan gambaran tentang pandangan filsafat pendidikan terhadap manusia, agar mampu mnyikapi dalam filsafat pendidikan Islam.
Adapun tujuan dari kami dari makalah ini agar kami mampu mengaplikasikan yang dapat dipahami dalam makalah itu. Dan untuk yang membaca juga dapat memahami hal-hal yang kita bahas dan jelaskan dalam makalah ini.

















BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pandangan Filsafat Pendidikan Islam Tentang Gambaran Manusia
Manusia adalah subyek pendidikan, sekaligus juga obyek pendidikan. Manusia dalam proses perkembangan kepribadiannya, baik menuju pembudayaan maupun proses kematangan dan intregitas, adalah obyek pendidikan. Artinya mereka adalah sasaran  atau bahan yang dibina. Meskipun kita sadarai bahwa perkembangan kepribadian adalah self development melalui self actifities, jadi sebagai subjek yang sadar mengembangkan diri sendiri.[1]
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan gambaran yang membicarakan tentang manusia dan makna filosofis dari penciptaannya. Manusia merupakan makhluk-Nya paling sempurna dan sebaik-baik ciptaan yang dilengkapi dengan akal pikiran. Dalam hal ini Ibn ‘Arbi misalnya menggambarkan hakikat manusia dengan mengatakan bahwa,”tak ada makhluk Allah yang lebih sempurna kecuali manusia, yang memiliki daya hidup, mengetahui, berkehendak, berbicara, melihat, mendengar, berfikir, dan memutuskan. Manusia adalah makhluk kosmis yang sangat penting, karena dilengkapi dengan semua pembawaan atau fitrahnya dan syarat-syarat yang diperlukan bagi mengemban tugas dan fungsinya sebagi makhluk Allah d muka bum.[2]
Sedikitnya ada empat konsep yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada konsep berikut:
a.      Konsep al-Basyar
Kata al-Basyar dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. Secara etimologi al-Basyar juga diartikan mulamasah,yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan. Makna ini dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki segala sifat kemanusiaan yang terbatas, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Penunjukkan kata al-Basyar ditunjukan Allah kepada seluruh manusia tanpa kecuali. Demikian pula halnya dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya tidak diberikan. Firman Allah SWT.
Artinya : “katakanlah : Sesungguhnya aku (Muhammad) hanyalah seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku…” (QS. Al Kahfi/18:110)[3]
Berdasarkan konsep al- Basyr, manusia tak jauh berbeda dengan makhluk biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah-kaidah prinsip kehidupan biologis lain seperti berkembang biak, mengalami fase pertumbuhan dan perkembangan dalam mencapai tingkat kematangan serta kedewasaan.
Manusia memerlukan makan, minum dengan kreteria halal serta bergizi (QS. 16 : 69) untuk hidup dan ia juga butuh akan pasangan hidup melalui jalur pernikahan (QS. 2 : 187) untuk menjaga, melanjutkan proses keturunanya (QS. 17: 23-25). Dan Allah SWT memberikan kebebasan dan kekuatan kepada manusia sesuai dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengelola dan memanfaatkan alam semesta, sebagai salah satu tugas kekhalifahannya di muka bumi.
b.      Konsep al-Insan
Kata al-Insan yang berasal dari kata al-uns, dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat. Secara etimologi, al-Insan dapat diartikan harmonis, lemah lembut, tampak, atau pelupa.
Dan ada juga dari akar kata Naus yang mengandung arti “pergerakan atau dinamisme”. Merujuk pada asal kata al- Insan dapat kita pahami bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi yang positif untuk tumbuh serta berkembang secara fisik maupun mental spiritual. Di samping itu, manusia juga dibekali dengan sejumlah potensi lain, yang berpeluang untuk mendorong ia ke arah tindakan, sikap, serta prilakun negatife dan merugikan.[4]
Kata al-Insan digunakan Al-Qur’an untuk menunjukan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang di milikinya mengantarkan manusia sebagi makhluk Allah yang unik dan istimewa, sempurna, dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lainnya,dan sebagai makhluk yang dinami, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi.
Perpaaduan antara aspek pisik dan pisikis telah membantu manusia untuk mengekspresikan dimensi al-insan al-bayan, yaitu sebagai makhluk berbudaya yang mampu berbicara, mengetahui baik dan buruk, mengemabngkan ilmu pengetahuan dan peradaban, dan lain sebagainya.
c.       Konsep an-Nas
Kata an-Nas dinyatakan dalam Al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat. Kosa kata An- Nas dalam Al- Qur’an umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk social. Manusia diciptakan sebagai makhluk bermasyarakat, yang berawal dari pasangan laki-laki dan wanita kemudian berkembang menjadi suku dan bangsa untuk saling kenal mengenal “berinterksi” (QS. 49 : 13). Hal ini sejalan dengan teori “strukturalisme” Giddens yang mengatakan bahwa manusia merupakan individu yang mempunyai karakter serta prinsip berbeda antara yang lainnya tetapi manusia juga merupakan agen social yang bisa mempengaruhi atau bahkan di bentuk oleh masyarakat dan kebudayaan di mana ia berada dalam konteks sosial.[5]
d.      Konsep Bani Adam
Manusia sebagai Bani Adam, termaktub di tujuh tempat dalam Al-Qur’an (Muhammad Fuad Abd al- Baqi:1989). Menurut al-Gharib al-Ishfahany, bani berarti keturunan dari darah daging yang dilahirkan. Berkaitan dengan penciptaan manusia menurut Christyono Sunaryo, bahwa bumi dan dunia ini telah diciptakan Allah SWT jutaan tahun sebelum Nabi Adam AS diturunkan dibumi, 7000 thn yang lalu. Pada waktu itu Allah SWT sudah menciptakan “manusia” (somekind of humanoid) jauh sebelum Nabi Adam AS diturunkan, sebagaimana dalam surat Al-Ankabuut ayat 19 yang artinya:
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana Allah menciptakan (manusia) dari permulaannya, kemudian mengulanginya (kembali). Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”. (Al-Ankabuut:19)
Ayat ini memperlihatkan bahwa kita seharusnya dapat memperhatikan adanya pengulangan kerena memang telah terjadi. Bukan pengulangan kebangkitan kembali nanti setelah hari kiamat, karena (pengulangan) kebangkitan setelah kiamat itu belum terjadi, sehingga masih sulit untuk di mengerti oleh yang tidak percaya.
Dan banyak ayat-ayat Al- Qur’an, data dan kejadian yang menunjang konsep pemikiran ini. Seperti misalnya: Pada saat manusia akan diciptakan Allah SWT untuk menjadi kalifah dibumi, bagaimana para Malaikat mungkin mengetahui bahwa manusia hanya akan membuat kerusakan diatas bumi. Sedangkan Malaikat hanya mengetahui apa-apa yang diberitahukan Allah SWT kepada mereka. Tentunya karena memang mereka pernah mengetahui adanya “manusia” dibumi sebelum Adam AS diciptakan.
Oleh sebab itu Allah SWT selalu menyatakan bahwa: “Manusia (anak-cucu Adam AS ) diciptakan dalam kesempurnaan-nya”. Dalam Injil dikatakan bahwa “Man was created upon the image of God). Serta banyak kalimat pada Taurat (Perjanjian Lama) yang membedakan antara “anak manusia” dan “anak Allah”, “adanya manusia-manusia yang besar pada saat itu”, bagaimana takutnya anak-anak Adam yang keluar dari surga dengan adanya ancaman/gangguan diluar.
Adapun yang dikatakan dalam kitab-kitab suci, ilmu pengetahuan ataupun teknologi dapat membuktikan bahwa ada sisa-sisa “manusia” yang telah berumur jutaan tahun. Bahkan teori Darwin-pun mengalami kesulitan dalam menghubungkan manusia purba dengan manusia masa kini (The missing-linktheorema). Dalam konsep ini dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa: “Jelaslah dengan penjelasan di atas bahwa Adam AS bukanlah merupakan hasil evolusi ataupun “keturunan monyet”, seperti dikatakan Darwin.
2.2  Proses Hidup Manusia dan Filsafat Pendidikan
Manusia sebagai penghuni alam jagat ini ternyata banyak mengikut kepada hukum yang berlaku di alam jagat ini. Namun sebagai makhluk, dia bukanlah sebagai makhluk-makhluk lain. Ia diberi oleh Tuhan ciri-ciri khusus untuk membolehkannya memegang jabatan sebagai wakil atau khalifah Allah di atas bumi.
Sudah merupakan suatu kenyataan dalam proses kehidupan manusia, bahwa mereka harus melaksanakan tugas-tugas hidup yang dilaksanakan dan ditunaikan dengan baik dan sempurna, sejak zaman kehidupan mereka yang sederhana, dihutan rimba dan digoa batu, atau ditempat lainnya, sampai kehidupan umat abad 21 ini. Di dalam kehidupan manusia yang sederhana, mereka bersusah payah dan penuh kesulitan yang beragam dalam menghadapi perjuangan hidup, bersama dengan hewan dan makhluk lainnya dalam memperebutkan makanan dan tempat tinggal.
Kita sebagai orang awam sudah puas dengan jawaban pancaindra, karena sudah menyaksikan dengan mata sendiri, bahwa manusia itu ada. Tetapi, ahli pikir seperti H.V.Loon tidak puas dengan hal demikian. Ia ingin hakikat, yakni hakikat hidup. Sehingga timbul beberapa pertanyaan darinya yang mungkin bagi orang lain sangat tidak perlu untuk dipertanyakan.
Yang nyata itu belum tentu benar. Berapa banyak orang yang dikelirukan oleh pandangan mata dan pendengaran telinganya. Tanggapan panca indera manusia terbatas, oleh karena itu, tidak dapat dijadikan pegangan yang kuat dan meyakinkan. Karena kurang percaya pada alat panca indera itulah, maka Descartes(1596-1650), Filosof beraliran Rasionalisme yang berkebangsaan Prancis yang dalam usianya yang sudah lanjut mempertanyakan tentang ada atau tidak ada dirinya. Dia bertanya, justru karena dia mengerti barang-barang yang infra human, artinya di bawah taraf manusia, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, tidak dapat bertanya karena tidak mengerti. Manusia mengerti, manusia menangkap dirinya. Dalam tangkapan itu, timbullah pertanyaan tentang diri sendiri dan arti hidupnya. Oleh karena itu, wajib bagi manusia menyadari dengan sungguh-sungguh akan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tadi. Proses pemikiran manusia seperti ini dalam kehidupan manusia, juga mendasari perkembangan filsafat pendidikan atau sebagai dasar filsafat pendidikan. Dalam perkembangan sejarah umat manusia, maka tampillah manusia-manusia unggul yang mengadakan perenungan, pemikiran, penganalisisan terhadap problem hidup dan kehidupan, dan alam semesta.
Proses kehidupan umat manusia pada abad ke-XX telah mengalami perubahan drastis. Pembangunan yang luar biasa dari ilmu pengetahuan dan teknologi telah mendorong kehidupan umat manusia, prosesnya lebih maju 100 tahun dari sebelumnya. Dengan kemajuan teknologi, maka jarak antarbenua terasa semakin dekat, baik melalui hubungan transportasi, telekomonikasi, dan lain-lain. Peristiwa yang terjadi disuatu Negara telah dapat diketahui pada saat itu juga, atau relative cepat diketahui oleh negara lain. Dan masih banyak lagi dalam penggunaan teknologi canggih yang ada di negara kita, yang semula dianggap mustahil dan ajaib sekarang sudah menjadi barang biasa.
Manusia sebagai makhluk hidup umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1.      Organ tubuhnya kompleks dan sangat khusus, terutama otaknya.
2.         Mengadakan metabolisme atau penyusunan dan pembongkaran zat, yaitu ada zat yang masuk dan keluar.
3.         Memberikan tanggapan terhadap rangsangan ari dalam dam luar.
4.         Memiliki potensi untuk berkembang.
5.         Tumbuh dan berkembang.
6.         Berinteraksi dengan lingkungannya.
7.         Bergerak.
Apabila dibandingkan dengan tubuh hewan tingkat tinggi lainnya, seperti gajah, harimau, burung dan buaya, tubuh manusia lebih lemah. Gajah dapat mengangkat balok yang berat, harimau dapat berjalan cepat, burung dapat tebang, dan buaya dapat berenan cepat. Sekalipun demikian, rohani manusia, yaitu akal budi dan kemauannya, manusia dapat menggembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kedua alat tersebut, manusia dapat menguasai dan mengungguli makhluk lain.
Manusia memiliki salah satu sifat yang paling esensial, yaitu berpikir, dan lahirnya filsafat pendidikan tentang manusia berasal dari pemikiran manusia tantang jati dirinya yang unik dan misterius.
2.3  Hubungannya Antara Filsafat,Manusia,dan Pendidikan
Kedudukan filsafat dalam ilmu pengetahuan
Filsafat adalah induk dari ilmu pengetahuan (mater scientiarium) yang melahirkan banyak ilmu pengetahuan yang membahas sesuai dengan apa yang telah dikaji dan diteliti didalamnya. Dalam hal metode dan obyek studinya, filsafat berbeda dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menyelidiki masalah dari satu bidang khusus saja, dengan menggunakan metode observasi dan eksperimen dari fakta-fakta yang dapat diamati. Sedangkan filsafat berpikir dengan mendasar, dan menyeluruhsampai pada fakta-fakta dibelakang yang Nampak.
Dalam ilmu pengetahuan, filsafat mempunyai kedudukan sentral, asal, atau pokok. Karena filsafat lah yang mula-mula merupakan satu-satunya usaha manusia di bidang kerohanian untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan. Kemudian lambat laun, beberapa ilmu-ilmu pengetahuan itu melepaskan diri dari filsafat, akan tetapi tidaklah berarti ilmu itu sama sekali tidak membutuhkan bantuan dari filsafat.
Kedudukan filsafat bagi kehidupan manusia
Kedudukan filsafat dalam kehidupan manusia yaitu memberikan penertian dan kesadaran kepada manusia akan arti pengetahuan tentang kenyataan yang diberikan oleh filsafat. Berdasarkan hasil kenyataan, maka filsafat memberikan pedoman hidup kepada manusia, pedoman itu mengenai sesuatu yang berada di sekitar manusia itu sendiri, seperti kedudukan dalam hubungannya dengan yang lainnya. Kita juga mengetahui bahwa alat-alat kewajiban manusia dalam berfikir dan bertindak melalui dengan akal, rasa, dan kehendak. Dengan akal, filsafat memberikan pdoman hidup untuk berfikir guna memperoleh pengetahuan. Dengan rasa dan kehndak maka filsafat memberikan pedoman tentang kesusilaan mengenai baik dan buruk.
Dengan demikian, antara filsafat, manusia, dan pendidikan memiliki hubungan yang sangat erat sekali. Karena manusia dilahirkan sebagai bayi yang tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bantuan lingkungan. Karena menurut jhon Locke, bahwa: “manusia ibarat kertas putih yang masih bersih tanpa coretan”. Dan dalam masa tertentu, kertas putih itu sedikit demi sedikit terdapat goresan-goresan seiring perkembangannya melalui proses-proses tertentu. Artinya, manusia sejak dilahirkan memiliki potensi yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan.
Dan peran filsafat dalam kehidupan manusia yaitu sebagi pola piker manusia yang arif dan bijaksana dalam menentukan sikap dan tindakan untuk menjalani kehidupan sesuai dengan fitrahnya.

                            






























BAB III
PENUTUP
3.1  KESIMPULAN
Manusia menurut Islam adalah makhluk ciptaan Allah (QS. 98: 2) dengan kedudukan yang melebihi makhluk ciptaan Allah lainnya (QS. 95 : 4). Selain itu manusia sudah dilengkapi dengan berbagai potensi yang dapat dikembangkan antara lain berupa fitrah ketauhidan (QS.15 :29). Dengan fitrah ini diharapkan manusia dapat hidup sesuai dengan hakekat penciptaannya, yaitu mengabdi kepada Allah SWT (QS. 51: 56).
Mengacu pada ketentuan ini, maka dalam pandangan Islam, menurut Jalaludin, manusia pada hakekatnya merupakan makhluk ciptaan Allah yang terikat dengan “Blue prient” (cetak biru) dalam lakon hidupnya, yaitu menyadari akan dirinya sebagai “Abdul Allah” sekaligus mempunyai tugas sebagai khalifah Allah.
Dan manusia memiliki potensi lain yaitu akal untuk mengetahui mana yang baik dan buruk karena akal manusia digunakan untuk berfikir atau mencari ilmu-ilmu Allah yang secara luas tersebar di muka bumi ini. Oleh karena itu, manusia wajib mencari pendidikan untuk kelangsuangan hidup di bumi dan di akhirat kelak.

3.2  SARAN
Sebagi manusia hendaknya kita melakukan sesuai apa-apa yang di perintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi yang dilarang. Karena kita diciptakan sempurna dari pada makhluk Allah yang lain.






Daftar pustaka

Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya,1986, hal. 153
Ismai Raji’ Al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan, Mizan, Bandung, 1984, hal. 37
Prof. DR. H. Ramayulis, DR. Samsul Nizar, MA, Filsafat pendidikan Islam, kalam mulia, Jakarta Pusat,  2009, hal. 48, 50, 57-59
Prof. Dr. H. Jalaludin, Teologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 21
Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Jendela, Yogyakarta, Cet. I, 2002, hal. 69
http://rahmatbae.blogspot.co.id/2012/11/hubungan-filsafat-manusia-dan-pendidikan.html



[1] Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila, Usaha Nasional, Surabaya,1986, hal. 153
[2] Ismai Raji’ Al-Faruqi, Islam dan Kebudayaan, Mizan, Bandung, 1984, hal. 37
[3] Prof. DR. H. Ramayulis, DR. Samsul Nizar, MA, Filsafat pendidikan Islam, kalam mulia, Jakarta Pusat,  2009, hal. 48

[4] Prof. Dr. H. Jalaludin, Teologi Pendidikan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal 21
[5] Brian Fay, Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer, Jendela, Yogyakarta, Cet. I, 2002, hal. 69